Kontemplasi Persahabatan

Setelah beberapa tahun keluar dari zona nyaman introverso,

Aysel
4 min readJul 27, 2022
Photo by Briana Tozour on Unsplash

Selain momen pesta politik, tahun 2019 merupakan tahun dimana aku berusaha untuk menghancurkan cangkang yang selama ini menjadi tempat persembunyian, ya aku berusaha berteman. Kali ini berteman dengan berusaha berteman dan berusaha untuk menjaganya dengan baik. Meski di tahun-tahun sebelumnya aku juga memiliki teman, tapi aku tidak terlalu pandai untuk menjaganya.

Setelah lulus dari SMA aku memutuskan untuk tidak berkomunikasi kembali dengan teman-teman SMA ku, padahal selama dua tahun sebelum lulus kami berteman dengan amat baik, hampir setiap hari kami lalui bersama terlebih kalau dekat waktu ujian dan ada tugas. Tapi ketika lulus SMA dan kuliah aku tak pernah sekalipun berusaha mengontak mereka semua. Demikian pula ketika lulus dari masa kuliah, polanya masih tetap sama. Berteman dan dekat selama tiga tahun lamanya, tetapi hampir tidak pernah berteman dan berkomunikasi dengan sebagian besar teman-temanku.

Ketika memasuki dunia kerja pasca kelulusan juga begitu, aku amat tak pandai menjaga silaturahim, tak memahami arti penting merawat temu. Meski kini kalau dipikir-pikir lagi di konteks dunia kerja ini memang karena didominasi orang-orang toxic. Namun aku menyadari bahwa aku juga punya andil dalam ketidakmampuan berkomunikasi dengan baik, semua terjadi sebab aku sering merasa tidak pantas atau tidak layak memiliki teman. Mungkin itu hal yang sulit untuk aku lepas ya karena sampai hari ini rasanya masih sering terjadi.

Meski sudah jauh lebih baik. Di tahun 2019, Allah pertemukan aku dengan banyak orang dan ternyata banyak hal juga yang aku rasakan.

Making friendship itu effort-nya kurang lebih sama ya dengan making relationship, kita perlu sadar bahwa kita sepenuhnya membangun relasi dengan manusia yang memiliki banyak kekurangan, kebaikannya tidak boleh kita manfaatkan apalagi disia-siakan, banyak hal juga yang harus dikompromikan, ketika ber-muamalah dan menjaga amanah apalagi menyimpan ‘aib haruslah dilakukan dengan penuh kesadaran agar tidak sampai lalai dan masih banyak hal lain yang merupakan peraturan tidak tertulis dalam menjaga sebuah relasi pertemanan. This might be the reason why people keep their circle small, either they can’t afford to make effort to fill it or they can’t just accept the bare minimum, of many.

Karena ada keinginan untuk saling dipahami ini lah seringkali ketidakcocokan muncul ke permukaan, meski ini bukan berarti karena masalah ego untuk terus menerus dipahami, apalagi sebuah sinyal untuk menyudahi pertemanan. Seringkali ini disebabkan oleh keengganan dan ketidaksempurnaan satu sama lain dalam saling memahami.

Pernah suatu kali aku menginap di rumah temanku, well menurutku kepercayaan seseorang dapat dilihat dari kesediaannya mengundang aku ke rumahnya, terlebih sampai mempersilakan untuk menginap. Aku punya pengalaman juga sih, sudah berteman lima tahun lamanya juga tidak diizinkan untuk main ke rumahnya, haha.

Nah, karena kondisi sahabatku kala itu cukup membutuhkan banyak penanganan kesehatan mental, I did help her to decluttering. Nah dari sini lah aku baru merasakan munculnya ketidakcocokan seperti yang ku sampaikan tadi. Ini karena hal yang menyebalkan sih. Jadi di rumahnya itu tidak ada gayung dan sapu lidi, padahal dua benda itu sangat penting untuk ada di rumah tapi dia bersi kukuh untuk tidak membeli kedua benda tersebut bahkan memberikan saya satu hadits nabi yang membenarkan tindakannya untuk tidak membei sapu lidi.

Setiap ingat, aku kadang emosi sendiri bukan karena ketidakmauannya untuk membeli perkakas rumah tangga ya, melainkan menggunakan dalil agama untuk menjustifikasi keengganannya untuk membeli dua perkakas itu. Padahal kan rumah yang normal itu ya sewajarnya ada gayung dan sapu lidi. Kecewa dengan tanggapan ignorant seperti itu, aku tidak menghubunginya selama berbulan-bulan, hahaha. Tapi akhirnya saya yang menghubunginya kembali dan akhirnya dia bersedia membeli dua perkakas itu.

Ini bukan berarti aku mau berteman kembali karena akhirnya dia mau mengambil nasihatku, melainkan karena aku menyadari kalau I do make friends with human, they sometimes make stupid things and so will I. Tapi ketika dia akhirnya membeli dan memiliki kedua perkakas itu ketika aku menginap, aku menganggap hal itu adalah bonus bukan “ya memang sudah selayaknya begitu”. Setidaknya aku bermanfaat untuk progress kebaikan temanku. Alhamdulillaah.

Tapi ga semua persahabatanku seperti ini, malah seringkali aku ditinggal orang yang aku kira bisa bersahabat dengan baik, sedihnya dia juga meninggalkan dengan cara yang menurutku, kalau aku menjadi dia, aku tidak akan melakukan hal itu kepada orang yang sudah berbuat baik ke aku. Bisa dikatakan cukup mengecewakan sehingga mungkin bisa dimaafkan tapi rasanya lebih baik begini saja kesudahannya. Cukuplah bagiku mengetahui bahwa dia adalah orang baik yang memiliki kekurangan, sama halnya seperti kebanyakan orang tanpa terkecuali aku.

Banyak sekali perasaan yang harus aku tuntaskan tersebab mungkin aku juga harus menerima bahwa tidak semua persahabatan itu bisa bertahan lama kalau tidak dibuat jarak dan aku selalu memberikan jarak meski juga tidak menutup pintu rapat-rapat dan mempersilakan masuk tiap orang yang aku ketahui memiliki niat baik untuk menjadi sahabat.

mungkin aku akan kembali menikmati introverso tanpa perlu memaksakan memiliki banyak teman.

--

--

Aysel
Aysel

Written by Aysel

Energy engineer who is also a social science & Islamic studies enthusiast. Di tengah kerumunan orang bercerita yang menuntut dengar, saya hanya ingin dibaca.

No responses yet